Dalam fikih wakaf biasanya dikemukakan , bahwa suatu wakaf sah apabila
terpenuhi rukun dan syaratnya, yaitu:
1. Rukun Wakaf ada 4 macam, yaitu :
a. Wakif, yaitu orang yang berwakaf.
b. Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan.
c. Maukuf ‘alaih, yaitu pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
d. Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif seagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya.
Menurut UU Nomor
41 Tahun 2004,
pelaksanaan wakaf harus
dipenuhi 6 unsur-unsur, yaitu :
a. Wakif;
b. Nadzir;
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda
wakaf;
f. Jangka waktu wakaf
2. Syarat Wakaf
a. Syarat bagi Wakif
Orang yang mewakafkan
disyaratkan harus cakap
berindak dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak
ini meliputi 4 ( empat ) kreteria, yaitu :
- Merdeka
- Berakal sehat
- Dewasa
- Tidak berada di bawah
pengampuan.
Syarat-syarat di atas adalah dieruntukkan bagi perorangan. Menurut UU
Nomor 41 Tahun 2004,
wakif tidak sebatas
perorangan tapi juga
bisa organisasi dan
badan badan hukum. Jika
wakif berupa perorangan sayat
syarat yang harus dipenuhi wakif adalah : dewasa,
barakal sehat, tidak
terhalang melakukan perbuatan
hukum, dan pemilik sah harta
wakaf.
Jika wakif berupa berupa organisasi atau badan hukum, tampaknya UU menyerahkan persyaratan wakif
kepada anggaran dasar organisasi yang besangkutan
jika wakif berupa organisasi dan
ketentuan badan hukum jika wakif berupa badan hukum.
b. Syarat Maukuf bih
Benda yang diwakafkan
dipandang sah untuk
diwakafkan apabila memenui syarat sebagai berikut :
- Harus mempunyai nilai/
berguna;
- Benda tetap atau benda
bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
- Benda yang diwakafkan harus
diketahui ketika diakadkan.
- Benda yang diwakafkan telah
menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan.
Dalam UU Nomor
41 Tahun 2004,
barang yang diwakafkan
hanya diberikan ketentuan yang
bersifat umum yaitu
bahwa harta benda
tersebut harus dimiliki
dan dikuasai wakif secara sah.
Hanya saja mengenai jenis dan macamnya telah disebut secara limitatif.
c. Syarat Maukuf Alaih
Tujuan wakaf atau
peruntukan wakaf disyaratkan
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan menurut Syari‟at Islam. Faisal
Haq, mengemukakan bahwa yang dimaksud
mahkum alaih ini menurut Fikih di samping apa tujuan wakaf
juga siapa penerima wakaf tersebut. Adapun syarat penerima wakaf tersebut,
menurutnya adalah harus dinyatakan secara tegas
dan jelas pada
saat ikrar wakaf
diucapkan. Apabila wakaf
ahli harus disebutkan
nama atau sifat
maukuf alaih sebara
jelas dan jika
wakaf itu wakaf khairy
atau ditujukan untuk
umum, suatu badan
hukum atau tempat
ibadah, harus ada nadhir/pengawas
yang ditunjuk untuk mengelola wakaf tersebut.
Menurut UU
Nomor 41 Tahun 2004, pada ketentuan Pasal 22 secara limitatif
telah ditegaskan, bahwa peruntukan wakaf
adalah sebagai berikut :
a. sarana
ibadah dan kegiatan ibadah;
b. sarana
dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan
kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan
dan peningkatan ekonomi umat, dan atau
e.
kemajauan kesejahteraan umum
lainnya yang tidsak
bertentangan dengan syari‟ah dan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan
peruntukan tersebut, dengan
mengacu kepada ketentuan
huruf d tampaknya bukan
ketentuan yang bersifat kumulatif
tetapi hanya alternatif. Artinya, dalam praktek
misalnya ketika seseorang
ingin mewaklafkan harta
bendanya dan harus menyebut
peruntukannya, maka dapat
memilih salah satu
peruntukan yang diinginkan sesuai
dengan kondisi harta yang ingin diwakafkan.
d. Syarat Shighat
Sighat
akad ialah segala
ucapan, tulisan atau
isyarat dari orang
yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan
apa yang diinginkannya. O leh
karena wakaf merupakan salah satu bentuk
tasharruf/ tabarru” maka sudah dinggap
selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari
penerima wakaf.Sedangkan tujuan wakaf
harus ditujuan untuk
ibadah dan mengharapkan balasan/pahala dari Allah SWT.
Menurut Fikih lafad shighat wakaf tersebut ada 2
macam, yaitu :
- lafad yang
jelas ( sharih ), seperti : ( Aku
mewakafkan, aku menahan, aku mendemarkan )
- Lafad
kiasan ( kinayah ), seperti : ( Aku
mensedekahkan, aku melarang, aku mengekalkan )
Adapun syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan atau tulisan ialah :
- shighat
harus terjadi seketika /selesai ( munjazah )
-
shigat tersebut tidak diikuti
dengan syarat yang bathil, yaitu
syarat yang menodai
dasar wakaf. Misalnya, “Saya wakafkan rumah ini
untuk diri saya sendiri seumur hidup,
kemudian setelah saya
meninggal untu anak-anak
dan cucu saya
dengan syarat bahwa saya boleh
menggadaikannya kapan saja saya kehendaki... atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi harta waris bagi para ahli waris saya.
- Shighat
tidak diikuti pembaytasan waktu terentu.
- Tidak mengandung
pengertian untuk mencabut
kembali wakaf yang
suidah
dilakukan.
Menurut Faisal, syarat tersebut pada prinsipnya
telah disepakati oleh semua golongan Ulama, keculai para Ulama Madzhab Maliki.
Dalam
UU Nomor 41
Tahun 2004, rukun
dan syarat wakaf
memang tidak dirinci sebagaimana
dalam fiqih. Sekalipun
demikian tidak berarti
karena itu UU tersebut
kurang memperhatikan keabsahan
pelaksaan wakaf dari aspek syari‟at. Sebab, dalam UU
tersebut ditegaskan bahwa
: “ Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syari’ah”. Dengan
demikian, UU tetap
memberikan kewenangan terhadap syari‟at Islam
untuk menilai keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan
rukun wakaf ini.
(Oleh: H.Asmu’i
Syarkowi)
(Sumber: http://www.badilag.net)
0 komentar:
Posting Komentar