Berbagai
aspek kehidupan Nabi Muhammad Saw. sangatlah sempurna, sehingga siapapun yang
memilih untuk menulis mengenai hal tersebut akan tercengang dan sangatlah sulit
untuk memilih topik ini. Dengan mempertimbangkan kebutuhan masa kini,
bagaimanapun, saya berharap dapat mengangkat sisi kehidupan Nabi Muhammad Saw.,
mengenai cara beliau membebaskan dunia dari perbudakan yang terang-terangan,
yang menjadi kutukan bagi kemanusiaan.
Saya maksudkan disini adalah, perbudakan terhadap wanita.
Sebelum
kedatangan Nabi Muhammad Saw., seluruh wanita di seluruh bagian dunia berada
dalam posisi sebagai budak dan dianggap sebagai barang yang bisa dimiliki, dan
perbudakan terhadap mereka menjadi bumerang bahkan terhadap laki-laki, dalam
hal anak laki-laki dari seorang budak perempuan tidak memiliki spirit kebebasan
yang sama.
Tidak
ada keraguan, wanita, baik karena kecantikannya ataupun karakternya yang
berkilau, mampu, dalam kasus2 perorangan, mendominasi laki-laki, namun
kebebasan yang diperoleh tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan
sebenarnya, untuk alasan sederhana bahwa wanita tidak memiliki hak terhadap
kebebasan. Ini hanya merupakan
pengecualian dari aturan yang berlaku umum, dan kebebasan yang sesungguhnya
luarbiasa, sulit untuk dapat menjadi budaya dari aspirasi yang sesungguhnya.
Rasulullah
Saw., datang sekitar 1.350 tahun lalu (ketika tulisan ini dibuat. terj). Sebelum itu, tidak ada agama ataupun negara
yang memberikan kebebasan kepada wanita sebagai sebuah hak. Tentu saja, di negara2 dimana tidak ada hukum
yang berlaku, wanita bebas dari segala ketidakberdayaan. Namun, tetap saja kebebasan semacam inipun
tidak dapat dikatakan sebagai kebebasan sejati.
Lebih dapat diartikan sebagai ijin.
Kebebasan sejati adalah yang muncul dari peradaban dan sesuai dengan
hukum. Kebebasan yang kita dapatkan pada
saat kita melanggar hukum bukanlah kebebasan sama sekali, karena kebebasan
semacam ini tidak menghasilkan kekuatan karakter.
II
Pada
masa Rasulullah Saw., dan sebelumnya, wanita ditempatkan pada kondisi dimana
dia bukan pemilik dari harta yang ia miliki, suaminya dianggap sebagai pemilik
harta istrinya. Wanita tidak memiliki
bagian dari harta ayahnya. Dia juga
tidak dapat mewarisi harta dari suaminya, walaupun dalam beberapa kasus, dia
dapat mengelola harta tersebut selama suaminya masih hidup. Pada saat telah menikah, seorang wanita
dianggap sebagai harta suaminya, tidak dimungkinkan untuk berpisah darinya,
atau sebagai alternatif, suaminya memiliki hak untuk menceraikannya namun
wanita tidak diberi hak untuk memisahkan diri dari suaminya, bagaimanapun
sulitnya masalah yang ia hadapi.
Apabila
suaminya meninggalkannya, mengabaikan kewajibannya terhadapnya, ataupun
melarikan diri dari istrinya, tidak ada hukum yang melindungi wanita. Menjadi kewajiban bagi wanita untuk menerima
konsekuensinya, bekerja untuk menghidupi diri dan anak-anaknya. Sang suami, memiliki hak, ini diluar masalah
tempramen yang tinggi, untuk memukul istrinya, dan istrinya bahkan tidak boleh
meninggikan suara untuk melawan hal tersebut.
Apabila suami meninggal, istri, di beberapa negara, diberikan kepada
kerabat suami, yang dapat menikahinya, atau kepada siapapun yang mereka
inginkan, baik sebagai sumbangan ataupun balas jasa dari keuntungan yang
diterima. Di beberapa tempat, dilain
pihak, wanita lebih dianggap sebagai properti suaminya. Beberapa suami akan menjual istrinya apabila
mereka kalah berjudi, dan pada saat mereka melakukan itu, mereka menganggap hal
tersebut adalah merupakan hak suami.
Seorang
wanita tidak memiliki hak terhadap anak-nya baik dalam posisinya sebagai seorang
istri, ataupun dalam posisi dia tidak tergantung pada suaminya. Dalam urusan rumah tangga ia tidak memiliki
hak istimewa. Bahkan dalam agama dia
tidak memiliki status. Dalam ikatan
sipiritual-pun wanita tidak memiliki bagian.
Sebagai konsekuensinya, para suami terbiasa menghamburkan harta
istri-istri mereka dan meninggalkan mereka tanpa memberikan sedikitpun untuk
keperluan istrinya. Si Istri, tidak
dapat, walaupun itu harta mereka sendiri, memberikan sebagai sumbangan atau
untuk menolong kerabatnya, tanpa persetujuan suaminya, dan suami yang serakah
tidak akan memberikan ijin untuk hal tersebut.
Mengenai
harta milik orangtua seorang wanita, dimana ada ikatan kasih sayang yang dalam,
wanitapun tidak memiliki bagian. Dan
anak-anak perempuan memiliki hak yang sama atas orangtuanya sebagaimana anak
laki-laki. Orangtua yang memiliki rasa
keadilan, selama hidupnya akan memberikan sebagian hartanya kepada anak-anak
perempuan mereka, dan menyisakan hanya untuk nafkah keluarga mereka. Hal ini tidak berlaku untuk anak laki-laki,
karena setelah kematian orangtua, mereka akan mewarisi seluruh harta (dan
karenanya seharusnya tidak boleh berkeberatan apabila saudara perempuan mereka
menerima pemberian dari orangtua mereka); yang menjadi pertimbangan mereka adalah, saudara perempuan mereka pada saat
itu memiliki lebih banyak dari mereka.
Mengenai
harta suaminya, dimana seorang istri memiliki hubungan yang total, wanita juga
tidak memiliki hak. Kerabat jauh dari
suami dapat meminta bagian, namun tidak seorang istri. Seorang istri,
sebenarnya, adalah orang yang menjaga harga diri suami, seorang pasangan hidup,
yang pengabdian dan kasih sayangnya tentunya sangat berkontribusi terhadap
pendapatan seorang suami. Disisi lain,
disaat seorang istri mengelola harta suaminya, dia tidak memiliki hak dan
bagian sedikitpun dari harta tersebut.
Bila seorang istri dapat membelanjakan pendapatan dari harta tersebut,
ia tetap tidak boleh mengatur bagiannya.
Dalam hal untuk sedekah, karenanya, ia tidak diperbolehkan untuk menentukan
sesuai keinginannya.
Apabila
suami berlaku kejam terhadap istrinya, ia tidak dapat berpisah dari
suaminya. Pada masyarakat dimana
perpisahan dimungkinkan, adalah pada kondisi dimana wanita yang menghargai diri
sendiri memilih kematian sebagai cara perpisahan. Sebagai contoh, sebuah
perpisahan harus memberikan bukti kesalahan dari salah satu pihak, termasuk
juga bukti perlakuan buruk dari suami.
Lebih buruk lagi, pada kasus-kasus demikian, dimana pihak istri sudah
tidak mungkin lagi hidup dengan suaminya, ia tetap tidak dapat berpisah dari
suaminya, namun ia hanya diijinkan untuk tinggal terpisah, yang merupakan salah
satu bentuk penyiksaan juga, karena dengan demikian ia dipaksa untuk menjalani
kehidupan yang kosong dan tidak memiliki tujuan.
Pada
beberapa kasus terjadi dimana suami dapat menceraikan istrinya kapanpun ia
suka, sementara seorang istri tidak dimungkinkan untuk meminta cerai. Apabila seorang suami meninggalkan istri,
atau meninggalkan negaranya tanpa memberi tunjangan, istri wajib untuk tetap
menjalani kehidupan tanpa hak untuk mengabdikan dirinya pada negara atau
masyarakat. Kehidupan perkawinan,
alih-alih memberikan suatu kebahagian, malah menjadi kehidupan yang penuh
penderitaan untuk seorang istri.
Kewajiban istri tidak hanya melaksanakan kewajiban suami dan dirinya
namun ia juga wajib untuk menunggu suaminya.
Kewajiban suami, sebutlah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga menjadi
tanggung jawab istri, belum lagi kewajibannya sendiri untuk mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya. Beban mental
disatu sisi, dan kewajiban menyediakan materi di sisi lain.
Semuanya
ini, singkat kata, ditoleransi dalam kasus yang melibatkan mahluk malang dan
tidak dilindungi ini. Wanita dipukuli,
dan dianggap sebagai properti suami.
Ketika suami meninggal, jandanya dipaksa untuk menikah dengan kerabat
suaminya atau dijual untuk mendapatkan uang.
Kenyataanya, para suami sendiri juga menjual istrinya. Pangeran bangsa
India seperti Panawas kehilangan istri mereka di meja judi dan untuk melawan
hukum kepemilikan tanah, seorang Puteri terhormat seperti Drupadi, tidak dapat
sedikitpun bersuara.
Dalam
hal pendidikan anak-anak, para ibu tidak diajak diskusi dan mereka tidak
memiliki hak terhadap anak-anak mereka.
Apabila ayah dan ibu berpisah, anak-anak diserahkan kepada ayah. Wanita tidak memiliki hak apapun terhadap
rumah tangga. Kapanpun suami
menghendaki, ia dapat melempar istrinya dari rumah dan hingga mesti
terlunta-lunta tanpa tempat berteduh.
III
Kedatangan
Rasulullah Saw. menghapuskan seluruh kebiadaban ini dengan satu sapuan. Beliau menyatakan bahwa Tuhan telah
mempercayakan kepadanya tugas untuk menjaga hak-hak wanita.
Beliau
menyatakan dengan nama Allah bahwa sebagai manusia pria dan wanita adalah sama,
dan pada saat mereka hidup bersama, sebagaimana laki-laki memiliki hak-hak
tertentu terhadap wanita, demikian pula sebaliknya, wanita memiliki hak-hak
tertentu terhadap laki-laki. Wanita dapat memiliki hak terhadap hartanya
sebagaimana laki-laki. Seorang suami
tidak memiliki hak untuk menggunakan harta istrinya, selama si istri, dengan
kehendaknya sendiri, tidak memberi ijin.
Untuk mengambil paksa hak miliknya ataupun dimana wanita malu untuk
menunjukkan penolakannya, adalah salah.
Apapun yang diberikan oleh suami dengan ikhlas, akan menjadi hak istri
dan suami tidak boleh mengambilnya lagi.
Ia juga berhak mewarisi harta orangtuanya sebagaimana saudara
lelakinya. Namun dengan menimbang bahwa
kewajiban menanggung keluarga adalah pada laki-laki, dan wanita dianggap hanya
perlu menanggung dirinya sendiri, maka bagiannya adalah separuh dari bagian
laki-laki, dari seluruh harta orang tua mereka yang meninggal.
Sama
halnya, seorang ibu juga berhak mewarisi harta dari anak laki-lakinya yang
meninggal sebagaimana juga ayah anak laki-laki tersebut. Namun mengingat situasi yang berbeda2 dan
tanggungjawab yang ia emban dalam kasus-kasus tertentu, bagiannya bisa sama
bisa juga kurang dari bagian ayahnya.
Apabila suaminya meninggal istri berhak mendapat warisan, baik ia
memiliki atau tidak memiliki anak, karena ia dianggap tidak tergantung dengan
hal lainnya.
Pernikahannya
(sudah dianggap lazim) adalah, tanpa ragu lagi, merupakan ikatan suci, dimana,
setelah suami istri menikmati keintiman yang paling dalam, sehingga perpisahan
suami istri adalah suatu hal yang sangat dibenci. Namun bagaimanapun, separah apapun perbedaan
diantara duabelah pihak, dalam masalah agama, fisik, ekonomi, sosial ataupun
mental, mereka haruslah memiliki komitmen kuat untuk mempertahankan keutuhan
perkawinan mereka, dan tidak boleh
menghancurkan hidup mereka dan menghancurkan tujuan keberadaan mereka.
Apabila
perbedaan ini muncul, dan suami dan istri sepakat bahwa mereka tidak dapat
hidup bersama, mereka (telah diajarkan) dapat – dengan persetujuan bersama –
mengakhiri kebersamaan. Namun apabila
hanya suami yang memiliki pandangan ini dan istri tidak, dan mereka gagal untuk
saling menyesuaikan diri satu sama lain, urusan ini haruslah di bantu oleh dua
orang hakam, yang satu mewakili suami dan yang satu mewakili istri. Apabila hakam ini memutuskan bahwa kedua
belah pihak harus berupaya untuk tetap hidup bersama, maka sebaiknya
masing-masing pihak berusaha menyelesaikan masalah sesuai dengan rekomendasi
hakam. Apabila kesepakatan tidak dapat
dicapai, suami dapat menceraikan istri, namun dalam kasus ini, ia tidak
memiliki hak untuk mengambil kembali apapun yang telah ia (sebelum bercerai)
berikan kepada istrinya, termasuk seluruh mas kawin (mahar).
Apabila
di lain pihak istri yang menginginkan perpisahan dan bukan sang suami, istri
harus mengajukan permohonan kepada hakim, dan apabila hakim telah yakin bahwa
tidak ada motif buruk dari permohonan tersebut maka hakim dapat memutuskan
perpisahan. Hanya pada kasus tertentu saja istri harus mengembalikan kepada
suaminya, harta yang telah diberikan kepadanya, termasuk mahar/mas kawin. Apabila suami gagal untuk memenuhi
kewajibannya dalam perkawinan, atau tidak mau berbicara lagi dengan istrinya
atau ia meminta istrinya untuk pisah ranjang, ia tidak boleh melebihi batas
waktu tertentu. Dalam waktu empat bulan
setelah perlakuan tersebut ia harus menyatakan apakah akan mempertahankan
perkawinannya atau menceraikan istrinya.
Apabila
suami menghentikan nafkah kepada istrinya atau meninggalkannya, atau tidak lagi
mengurus istrinya, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. (Tiga tahun telah
ditetapkan sebagai batas meninggalkan istri oleh para hakim muslim). Istri
kemudian bebas untuk menikah lagi.
Suami
harus bertanggungjawab terhadap pemeliharaan istri dan anak-anaknya. Ia hanya boleh menerapkan disiplin yang
sewajarnya, namun apabila untuk mendisiplinkan ini harus memberikan hukuman, ia
harus memiliki saksi yang cukup dan mengungkapkan kesalahan istrinya dan
mendasarkan penilaiannya pada bukti-bukti.
Hukuman tersebut tidak boleh meninggalkan cacat yang menetap.
Seorang
suami tidak “memiliki” istrinya sebagai properti. Ia tidak boleh menjualnya,
atau memaksanya dalam pekerjaan rumah tangga.
Istri berbagi segala hal dalam rumah tangga, dan perlakuan suami
terhadap istri akan menunjukkan posisi dimana ia berada. Sebuah perlakuan yang lebih rendah daripada
yang seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki dengan status suami adalah
tidak benar.
Pada
saat suaminya meninggal, keluarganya tidak memiliki hak terhadap istri. Istri boleh bebas dan apabila ada kesempatan
maka ia memiliki hak untuk menikah lagi. Tidak seorangpun boleh
menghalanginya. Seorang janda juga tidak
harus ditempatkan ditempat tertentu. Ia
boleh tinggal di rumah suaminya selama empat bulan sepuluh hari sampai semua
hak istri dan hak keluarganya telah selesai diurus.
Setahun
setelah kematian suaminya seorang janda, apapun yang terjadi padanya, adalah
berhak untuk menggunakan rumah suaminya, sehingga ia dapat menggunakan apa yang
tertinggal untuk kebutuhannya dan ia memiliki tempat tinggal.
Apabila
suami cekcok dengan istrinya maka suami yang harus meninggalkan rumah, dan
tidak boleh meminta istrinya untuk keluar, karena rumah menjadi hak istri. Dalam hal pengurusan anak-anak, wanita
memiliki hak dan kewajibannya. Ia harus
dilibatkan.
Dalam
persoalan anak-anaknya, wanita tidak boleh diabaikan dalam hal apapun. Perihal menyusui, pengasuhan adalah
tergantung pada pendapatnya. Apabila
suami dan istri merasa tidak mungkin lagi untuk hidup bersama, dan menginginkan
untuk berpisah, maka pengasuhan anak yang masih kecil harus diserahkan kepada
sang ibu. Pada saat anak-anak dewasa,
untuk tujuan pendidikan, anak boleh kembali kepada ayahnya. Selama anak-anak tinggal dengan ibunya, maka
pemeliharaan harus disediakan oleh ayah. Ayah juga harus membayar waktu dan
upaya yang dikeluarkan si ibu dalam mengurus anak-anaknya.
Singkatnya,
wanita memiliki status independen.
Pahala spiritual juga terbuka untuknya. Ia juga dapat mencapai kemuliaan
tertinggi dalam kehidupan akhirat, dan dalam kehidupan dunia ia dapat berperan
serta dalam berbagai urusan kemasyarakatan.
Dalam hal ini ia memiliki hak untuk diperlakukan sama dengan laki-laki.
IV
Inilah
ajaran dari Rasulullah Saw. yang disebarkan pada saat standar perlakuan di
seluruh dunia adalah kebalikannya.
Melalui perintahnya, beliau membebaskan wanita dari perbudakan yang
telah menjadi satu dengan kehidupan mereka selama ribuan tahun, dimana mereka
dipaksa menerimanya di berbagai belahan dunia, belum lagi tekanan dari berbagai
agama terhadap wanita. Seorang laki-laki
dalam satu masa, menghapus seluruh rantai perbudakan ini! Membawa kebebasan
bagi para ibu, dan beliau pada saat yang sama membebaskan anak-anak dari sentimen
perbudakan dan menyemaikan dan memupuk ambisi dan harga diri yang tinggi.
Namun
demikian, dunia tidak menghargai nilai ajaran tersebut. Apa yang dianggap sebagai keuntungan diberi
label sebagai tirani. Perceraian dan perpisahan dianggap sebagai masalah,
warisan dianggap menghancurkan keluarga, independensi seorang wanita dianggap
sebagai penghancuran kehidupan rumah tangga.
Selama seribu tiga ratus tahun, hal tersebut terus dipraktikkan secara
membabi buta, padahal apa yang disampaikan Rasulullah adalah untuk kebaikan
umat manusia. Berlanjut dengan hujatan
terhadap ajarannya yang menyatakan bahwa ajaran tersebut bertentangan dengan
fitrah manusia. Lalu tiba satu masa dimana
kalimat Tuhan (yang disampaikan melalui rasulnya) kemudian menjadi nyata. Orang-orang yang menganggap dirinya beradab,
mulai mematuhi ajaran Rasulullah. Semua
orang, kemudian mulai mengubah aturan mereka untuk menyesuaikan dengan ajaran
Rasulullah.
Undang-undang
di Inggris, yang mempersyaratkan adanya perlakuan buruk dan sewenang-wenang,
dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada salah satu pihak sebagai
syarat perceraian, diubah pada tahun 1923.
Perlakuan buruk sudah cukup memenuhi syarat perceraian pada
undang-undang yang baru.
Selandia
Baru memutuskan, pada tahun 1912, bahwa bila seorang istri tidak waras selama
tujuh tahun, perkawinannya dapat dibatalkan.
Pada tahun 1925, lebih lanjut diatur bahwa apabila suami atau istri
tidak dapat memenuhi kewajiban perkawinan mereka, maka mereka boleh bercerai
atau berpisah. Apabila dalam waktu tiga
tahun suami istri tidak memperdulikan satu sama lain, maka cerai
dijatuhkan. Suatu peniruan yang bagus
terhadap hukum Islam, tentunya, namun baru dibuat setelah 1.300 tahun
penyerangan terhadap ajaran Islam.
Di
Negara bagian Australia, Queensland, ketidakwarasan selama lima tahun, dianggap
cukup sebagai alasan untuk bercerai. Di
Tasmania, sebuah undang-undang yang diberlakukan pada tahun 1919, yang
mengatakan bahwa perlakuan buruk, meninggalkan selama empat tahun, kebiasaan mabuk,
dan pengacuhan selama tiga tahun, masuk penjara, pemukulan, ketidak warasan,
harus, baik salah satu maupun seluruhnya cukup menjadi alasan untuk
bercerai. Di Victoria, undang-undang
yang diberlakukan tahun 1923 menyatakan bahwa apabila seorang suami tidak
mengurus istrinya selama tiga tahun, atau berlaku buruk, atau tidak memberi
nafkah, menganiaya istrinya, maka perceraian dimungkinkan. Selanjutnya diatur bahwa apabila masuk
penjara, pemukulan, perilaku buruk dari pihak istri, ketidakwarasan, perlakuan
sewenang-wenang dan percekcokan terus menerus cukup menjadi alasan untuk
perceraian atau perpisahan.
Di
bagian barat Australia, selain undang-undang yang mengatur hal tersebut diatas,
pernikahan seorang wanita yang dalam keadaan mengandung juga dinyatakan tidak
sah atau batal (Islam juga memiliki pandangan yang sama)
Di
Kuba, telah diputuskan pada tahun 1918 bahwa perilaku buruk, pemukulan, mencaci
maki, berada dalam pemeriksaan polisi, kebiasaan mabuk, kebiasaan berjudi,
tidak dapat memenuhi kewajiban, tidak menafkahi, penyakit menular atau
kesepakatan bersama, dapat diterima sebagai syarat perceraian atau perpisahan.
Italy
menyatakan pada tahun 1919 bahwa wanita harus memilik hak atas hartanya. Ia dapat memberikannya sebagai sumbangan atau
menjualnya apabila ia menghendaki.
(hingga saat ini di Eropa, wanita tidak diakui sebagai pemilik dari
hartanya sendiri)
Di
Mexico juga, kondisi sebagaimana diatas dianggap cukup sebagai syarat untuk
bercerai. Disamping itu, kesepakatan
bersama juga dianggap cukup. Hukum ini
diberlakukan tahun 1917. Portugal
memberlakukan tahun 1915, Norwegia 1909, Swedia 1920, dan Swiss pada tahun 1912
telah memberlakukan undang-undang yang mengijinkan perceraian dan perpisahan.
Di Swedia, hukum mengharuskan ayah untuk menunjang kebutuhan hidup anaknya
sampai dengan usia delapan belas tahun.
Di
Amerika walaupun undang-undang mengharuskan untuk menjaga hak ayah terhadap
anaknya, namun pada praktiknya, hakim mulai memperhatikan faktor kelemahan dari
pihak ibu, dan sekarang ayah wajib untuk menafkahi anaknya yang tinggal dengan
ibunya. Tentu saja terdapat banyak kekurangan dalam hukum mereka. Walaupun hak laki-laki dijaga, namun wanita
juga diijinkan untuk memiliki hak terhadap hartanya. Pada saat bersamaan, di banyak negara bagian,
diatur apabila suami mengalami cacat tetap, maka istri harus menunjang
kebutuhan hidup suami.
Wanita
sekarang memiliki hak untuk memilih, dan jalan telah terbuka dimana mereka
dapat memberikan suara terhadap kepentingan nasional. Namun demikian, semua ini terjadi 1300 tahun
setelah Rasulullah Saw. menyebarkan ajarannya.
Banyak hal yang masih menunggu untuk terjadi. Di beberapa negara, wanita masih tetap tidak
memiliki bagian dari warisan orang tua atau suaminya. Demikian juga dalam beberapa masalah lainnya,
Islam terus memberikan pedoman kepada seluruh dunia, walaupun dunia belum
mengakui hal tersebut. Dalam waktu yang
tidak lama lagi, bagaimanapun juga, dunia akan menerima tuntunan dari
Rasulullah saw mengenai hal ini,
sebagaimana juga mengenai hal lainnya, hal mana Rasulullah telah
memulainya atas nama kebebasan bagi wanita akan segera membuahkan hasil.
Terjemah:
Damayanti Natalia
Sumber:
http://www.alislam.org/library/books/Muhammad-the-liberator-of-women.html
0 komentar:
Posting Komentar