Clock

Jumat, 02 Mei 2014

Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa

Judul Buku      : 99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis            : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : Jakarta 2011
Tebal Halaman : 412
Peresensi        : Raisa ‘Amiyatul Hijriani


          99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa merangkum seluruh perjalanan spiritual Hanum Salsabiela Rais bersama sang suami Rangga Almahendra selama lebih dari tiga tahun di Eropa. Petualangan ini telah membawa Hanum kepada titik nol yang selama ini ia cari. Dari perjalanan ini pulalah beliau menemukan banyak hal yang telah dilupakan generasi muslim masa kini bahwasanya peradaban Islam pernah menerangi Bumi Eropa dengan cahayanya yang terang benderang, dimana agama dan ilmu pengetahuan berjalan beriringan, dan dimana semua agama dapat menjalankan ibadahnya masing-masing dengan aman serta hidup berdampingan satu sama lain dibawah naungan kekuasaan bernama Islam.

        Hanum, putri dari Bapak Amien Rais ini, dan suaminya, Rangga, berhasil menguraikan secara detail dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dimengerti cerita terselubung dibalik peninggalan-peninggalan sejarah peradaban Islam yang terhampar luas di Eropa. Dengan bekal pemahaman dan pengalaman yang dimiliki, mereka mampu membuka mata para pembaca dengan fakta-fakta tersembunyi dibalik peninggalan-peninggalan sejarah tersebut yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hanum dan Rangga mampu mengisi relung hati para pembacanya, menyajikan kata demi kata dengan sangat menarik, menggetarkan perasaan, dan mengalirkan ruh Islam dalam nadi, membuat siapapun yang membaca novel ini jatuh cinta lagi terhadap Islam.

        Kisah petualangan yang ditulis berdasarkan pengalaman nyata Hanum dan Rangga ini dimulai ketika Rangga mendapatkan beasiswa studi doktoralnya di Wina, Austria. Tidaklah mudah bagi mereka mengenal orang-orang baru dengan budaya yang sangat jauh berbeda dari budaya Indonesia. Berbagai polemik mereka hadapi ketika segalanya harus dihubungkan dengan rasionalitas. Betapa sulitnya menjelaskan mengapa mereka harus meninggalkan pekerjaannya hanya untuk beribadah lima waktu, mengapa mereka tidak memakan babi, dan ketika keeksistensian Tuhan dipertanyakan. Menjadi minoritas dikalangan mayoritas atheis, dimana orang tidak percaya keberadaan Tuhan, justru lebih sulit dibandingkan dengan menjadi minoritas dari agama yang lain.

       Namun, disinilah iman mereka diuji. Mereka tertantang untuk menjadi agen muslim yang baik dengan selalu bersabar terhadap semua perlakuan tidak menyenangkan yang mereka dapat ketika sulitnya melakukan ibadah, mengenakan hijab ditempat umum, membawa bekal makanan halal ke tempat kerja, dan penghinaan terhadap simbol kekuasaan Islam pada masa lampau yang didengar dari turis-turis lain. Seperti yang mereka yakini, mengalah itu tidak kalah melainkan menang secara hakiki. Kekuatan iman inilah yang mengantarkan mereka mengenal saudara-saudari muslim barunya disana dan membawa kaki-kaki mereka melangkah menuju Bumi peradaban Islam yang tersebar di Eropa.

      Dari kelas kursus bahasa Jermannya Hanum mengenal Fatma Pasha, seorang wanita muslim berhijab berkewarganegaraan Turki. Fatmalah yang kemudian membawa Hanum memulai ekspedisinya di Eropa. Dimulai dari bukit Kahlenberg, di Wina, Austria yang menjadi saksi bisu penyerangan Islam Ottoman Turki dibawah pimpinan Kara Mustafa Pasha tiga ratus tahun silam, Dinasti yang terkenal pernah merebut ibu kota kerajaan Romawi Byzantium di Konstatinopel. Pasukan Turki yang saat itu sudah mengepung dan hampir mengusai kota Wina, berhasil dipukul balik oleh pasukan gabungan Jerman dan Polandia di bukit tersebut. Di Wien Stadt Museum atau Museum Kota Wina, lukisan Kara Mustafa yang bagi rakyat Austria adalah seorang pembunuh terpampang. Disanalah Hanum mengetahui bahwa Fatma merupakan keturunan Kara Mustafa Pasha.

       Ada dua hal menarik yang dapat diambil disini. Pasukan Turki kala itu meninggalkan bukti sejarah di bukit Kahlenberg, yaitu biji-biji kopi Turki yang kini lebih dikenal orang berasal dari Italia, Cappucino. Dari Istana dan Museum Schoenbrunn pula, Hanum mengetahui bahwa roti Croissant, yang sering disuguhkan oleh Maria Antoinette, putri dari Ratu Austria, setelah menikah dengan Raja Prancis kepada para tamunya, bukanlah berasal dari Prancis melainkan roti yang dibuat oleh orang-orang Austria sebagai simbol untuk merayakan kekalahan Turki di Wina karena bentuk bulan sabitnya yang melambangkan Turki tersebut.

       Pemandangan ironis dapat dilihat disekitaran Masjid Vienna Islamic Centre yang terletak persis didepan Sungai Danube, dimana banyak sekali orang-orang berbaju minim berjemur dibawah terik matahari kota Wina. Sungguh menarik mengetahui fakta bahwa dibalik keironiannya justru hidayah itu turun. Banyak dari mereka yang sering berjemur atau sekadar bersantai disekitar Sungai Danube mengucapkan syahadatnya di masjid tersebut. Inilah bukti kekuasaan Allah SWT.

      Di Prancis, Hanum dan Rangga mengenal Marion Latimer, bule Prancis yang menjadi mualaf karena kekagumannya terhadap Napoleon Bonaparte. Dari semua perjalanan Hanum dan Rangga, mungkin inilah yang paling menggugah sanubari. Tokoh Marion, seorang peneliti ahli dibidang Sejarah Studi Islam Abad Pertengahan yang juga bekerja di Arab World Institute Paris ini mengingatkan kita pada film the Da Vinci Code. Ia mampu menguak sejarah dengan penjelasan yang sangat logis. Seolah Hanum ‘dipaksa’ berpikir lebih jauh mengenai fakta yang ada didepannya.

        Mulai dari Museum Louvre, museum terlengkap didunia dimana terpampang lukisan karya Leonardo Da Vinci yang terkenal, Mona Lisa. Sebuah inskripsi arab pseudo kufic kalimat tauhid laa ilaa ha illallah menjuntai indah di hijab Bunda Maria yang tengah menggendong bayi Yesus. Kemudian berlanjut ke Arc de Triomphe du Carrousel dengan gerbangnya mengahadap ke Timur yang dibangun Napoleon setelah ekspedisinya ke Mesir serta bangunan-bangunan lain yang sengaja dibuat membentuk garis imajiner lurus Axe Historique atau Voie Triomphale yang berarti ‘Jalan Kemenangan’ yang jika ditelusuri mengarah ke kiblat di Mekkah. Ya, Mekkah, Jalan Kemenangan.

       Mungkin banyak orang akan mengatakan fakta-fakta tersebut terlalu memaksakan. Tapi, kalaupun bukan kalimat laa ilaa ha illallah yang terukir di hijab Bunda Maria dan Napoleon tidak pernah memeluk islam, satu fakta tak terbantahkan yaitu peradaban islam pernah menancapkan pengaruhnya di benua Eropa. Dan satu hal pula yang tidak bisa dipungkiri oleh sejarah bahwa Jendral Jacques Francois Menou, tangan kanan Napoleon yang menemaninya dalam ekspedisi ke Mesir tersebut telah mengikrarkan dua kalimat syahadat.

       Hanum dan Rangga banyak mengisahkan berdirinya masjid-masjid dan gereja-gereja besar di Eropa. Seperti Le Grande Mosque de Paris atau Masjid Besar Paris yang menggambarkan fungsi masjid bukan sekadar untuk beribadah, tapi juga berdiskusi, bersilaturahmi, berdagang, dan kegiatan lainnya karena Islam tidak mengenal benturan sains dan agama sebagaimana Eropa pada masa kegelapan. Masjid ini dibangun untuk mengenang gugurnya tentara muslim pada PD I dan pernah menyelamatkan ratusan Yahudi dari kejaran Nazi.

       Gereja Notre Dame memiliki tiga pintu masuk yang berbentuk kubah lengkung ogive atau kurva lancip, terinspirasi oleh gerbang masjid seperti Masjidil Haram yang jumlahnya selalu ganjil. Ada juga gereja St.Charles yang bergaya baroque, memiliki atap berbentuk kubah raksasa seperti kubah masjid. The Mosque Cathedral atau Mezquita di Cordoba, Spanyol, merupakan masjid yang berubah menjadi gereja. Terdapat sisa-sisa ukiran ayat-ayat Al-Quran yang sudah dihancurkan dan bahkan mihrabnya pun dibatasi jeruji besi.

       Cordoba yang saat itu dikenal sebagai the City of Lights, kota pertama di Eropa yang dibangun oleh imperium Islam terkenal bukan karena hebat dibidang ilmu pengetahuannya saja, tapi juga keharmonisan perbedaan pemeluk agama Islam, Kristen, dan Yahudi dibawah Islam. Disana pulalah lahir para tokoh filsuf dunia seperti Maimonides, Averroes atau Ibnu Rushd, Ibnu Sina yang lebih dikenal dengan nama Avicenna, juga Al Farabi, dan masih banyak nama lainnya. Kejayaan Islam di Spanyol saat itu berakhir di Granada. Alhambra-lah yang menjadi benteng terakhir pertahanan umat Islam. Ratu Isabella dan Ferdinand kala itu berhasil mengambil alih Granada dan membabtis semua warga Islam dan Yahudi, memaksa menggantung babi didepan rumah dan memakannya sebagai bukti kesetiaan.

        Di Istanbul, atau Islambol, atau New Rome, atau Constatinopel hati Hanum bergejolak ketika melihat empat buah medalion raksasa bertuliskan Allah dan Muhammad mengapit gambar Bunda Maria memangku Yesus di Hagia Sophia, gereja Kristen Orthodok yang kemudian diubah menjadi masjid, dan pada masa Mustafa Kemal Ataturk diubah menjadi museum. Berbeda dengan Mezquita, lukisan Yesus dan Bunda Maria di Hagia Sophia saat diubah menjadi masjid dibiarkan saja dan hanya ditutupi kain. Ada juga Blue Mosque, Topkapi Palace, dan Jembatan Bosporus yang semakin menambah keindahan Istanbul. Pengalaman menyenangkan saat membaca novel ini adalah ketika membayangkan melewati jembatan tersebut. Sungai dibawahnya yang mengalir dari selat Bosporus, membelah Asia dan Eropa.

     Perjalanan ini berakhir di Mekkah. Membawa Hanum kepada titik nol yang selama ini ia cari, perjalanan untuk kembali kepada Tuhan. Sayangnya, bagian dimana Hanum, sang penulis mendapatkan hidayah-Nya untuk mengenakan hijab terlewatkan oleh novel ini. Rasanya akan lebih lengkap jika bagian itu disertakan sehingga Insya Allah dapat menjadi hidayah bagi para pembacanya juga.

       Banyak pelajaran yang bisa diambil dari novel ini. Nuansa yang dibawa oleh penulis banyak mengangkat kebesaran Islam namun tetap dengan melihat realita dari kacamata masa kini. Betapa canggihnya muslim kala itu mampu menyebarkan pengaruhnya melalui kata-kata mutiara dalam Arab Kufic yang disukai para Raja. Inilah gambaran Islam yang sesungguhnya. Bukan dengan jalan yang salah, bukan melalui teori belaka, tapi melalui praktik langsung. Islam yang damai.

      Isu terbesar yang diangkat oleh novel ini adalah kejayaan Islam. Islam pernah menjadi bagian penting bagi sendi-sendi kehidupan di tanah Eropa. Dan sejarah akan tetap menjadi fakta. Sejarah juga bukan melulu soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, siapa yang menyakiti dan siapa yang tersakiti. Tapi pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya agar kelak kita manusia tidak jatuh kedalam kesakitan sejarah yang sama.

      Novel ini memberikan pesan kepada kita para muslimin bahwa untuk menghapus kebencian antar manusia, antar agama, adalah dengan menjadi agen muslim yang baik, yang bangga menjadi seorang muslim dengan mengetahui sejarahnya. Seperti yang dikatakan oleh Fatma dan ditulis oleh Hanum dan Rangga dalam novel ini, kita harus bangga terlahir sebagai muslim karena memahami, meresapi, mengenal, menyentuh, merasakan, dan mencintai Islam bukan karena paksaan orang lain. Perbedaan terjadi bukan karena Tuhan tidak bisa menjadikan kita sama, tapi Tuhan Maha Tahu jika kita semua sama maka tidak ada lagi keindahan hidup bagi manusia.

      Novel ini dilengkapi dengan desain peta setiap Negara yang dikunjungi dan foto-foto menarik yang mendukung isi cerita serta jejak kronologis sejarah peradaban Islam di Eropa dari abad ke abad. Sangat sayang jika terlewatkan oleh Anda


0 komentar:

Posting Komentar

 

Contact our Support

Email us: pusatwakaf@yahoo.com

Our Team Members