Orangtua
sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya harus memiliki sifat-sifat yang utama
pula, agar kita meraih keberhasilan dalam pendidikan anak-anak kita. Meskipun
mungkin hal tersebut sulit, namun kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk
memiliki sifat-sifat tersebut, sebab kita akan menjadi fokus teladan pendidikan
bagi generasi baru, paling tidak sebagi fokus teladan bagi anak-anak kita.
Mereka akan senantiasa menyorot kita selaku seorang pendidik dan pembimbing,
karena kitalah contoh nyata yang mereka saksikan dalam kehidupan mereka. Berikut
beberapa karakter yang harus dimiliki orang tua…
1.
Ikhlas
Rawat
dan didiklah anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharap
keridhaan Allah. Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas
edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan, maupun hukuman. Niat yang ikhlas selain mendatangkan
keridhaan dan pahala Allah, juga akan meneguhkan hati kita di saat ujian
datang. Dan hati kita akan tetap lapang, bagaimanapun hasil yang kita raih
setelah usaha dan doa.
2.
Bertakwa
Inilah
sifat terpenting yang harus dimiliki seorang pendidik. Yaitu takwa yang
didefinisaikan oleh para ulama : “Menjaga agar Allah tidak mendapatimu pada
perkara yang Dia larang, dan jangan sampai Allah tidak mendapatimu pada perkara
yang Dia perintahkan.” Yakni mengerjakan segala yang dia perintahkan dan
menjauhi segala yang Dia larang.
Atau
sebagimana yang dikatakan ulama lain : “Menjaga diri dari azab Allah dengan
mengerjakan amal shalih dan merasa takut kepadanya, baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.” Yakni menjaga diri dari azab Allah
dengan senantiasa merasa di bawah pengawasannya. Dan senantiasa menapaki jalan
yang telah Dia gariskan baik saat sendiri maupun dihadapan manusia.
Hiasi
diri dengan takwa, sebab pendidik adalah contoh dan panutan sekaligus
penanggung jawab pertama dalam pendidikan anak berdasarkan iman dan islam.Dan
ingatlah janji Allah bahwa Dia akan memudahkan urusan orang yang bertakwa, akan
memberi jalan keluar baginya, dan memberi rizki dari arah yang tidak ia sangka.
Karena anak yang shalih adalah rizki. Mudah-mudahan karena ketakwaan kita,
Allah berkenan memberikan jalan keluar bagi setiap urusan kita dan memberikan
rizki yang baik kepada kita.
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan akan memberinya rizki dari
arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq:4)
3.
Berilmu
Pendidik
harus berbekal ilmu yang memadai. Ia harus memiliki pengetahuan tentang
konsep-konsep dasar pendidikan dalam Islam. Mengetahui halal haram,
prinsip-prinsip etika islam serta memahami secara global peraturan-peraturan
dan kaidah-kaidah syariat Islam. Karena dengan mengetahui semua itu pendidik
akan menjadi seorang alim yang bijak, meletakkan segala sesuatu pada tempatnya,
mampu bersikap proporsional dalam memberi materi pendidikan, mendidik anak
dengan pokok-pokok persyaratannya. Mendidik dan memperbaiki dengan berpijak
pada dasar-dasar yang kokoh. Medidik dan mengarahkan anak didik dengan
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Memberikan contoh yang baik kepada
mereka dengan keteladanan yang agung dari nabi dan para sahabat beliau.
Sebaliknya, jika pendidik tidak mengetahui semua itu, lebih-lebih tentang
konsep dasar pendidikan anak, maka akan dilanda kemelut spiritual, moral,
mental dan sosial. Anak akan menjadi manusia yang tidak berharga dan diragukan
eksistensinya dalam semua aspek kehidupan. Orang yang tidak mempunyai sesuatu
bagaimana ia akan memberikan sesuatu kepada orang lain??
4.
Bertanggung jawab
Milikilah
rasa tanggung jawab yang besar dalam pendidikan anak, baik aspek keimanan
maupun tingkah laku kesehariannya, jasmani maupun ruhaninya, mental maupun
sosialnya. Rasa tanggung jawab ini akan senantiasa mendorong upaya menyeluruh
dalam mengawasi anak dan memperhatikannya, mengarahkan dan mengikutinya,
membiasakan dan melatihnya. Bertanggungjawablah, karena setiap dari kita adalah
pemimpin dan anak adalah amanat serta ujian dari Allah
5.
Sabar dan tabah
Dua
sifat ini mutlak dibutuhkan oleh setiap pendidik. Sebab dalam proses pendidikan
tentu sangat banyak tantangan dan ujian. Baik tantangan dari diri kita sendiri,
anak didik, maupun tantangan dari luar lingkungan. Kita harus bisa melaksanakan
sebaik-baiknya kewajiban mendidik anak diantara tugas dan tanggung jawab kita
yang lainnya. Kita akan dihadapkan kepada berbagai macam karakter anak. Ulah
dan tingkah mereka yang sangat menuntut kesabaran dalam menghadapinya. Ditambah
lagi dengan faktor luar, baik lingkungan sekitar, kawan bergaul, berbagai macam
media, dan lain sebagainya. Menghadapi semua tantangan dan ujian ini, kita
tidak boleh menanggalkan sifat tabah dan sabar meski hanya sekejap. Jika tidak
niscaya ancaman kegagalan terpampang di depan mata. Jadi hendaklah kita
senantiasa bersabar dengan mengharap rahmat Allah dan mewasapadai sikap putus
asa, karena sesungguhnya orang yang berputus asa dari rahmat Allah adalah orang
kafir.
“
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
(QS Yusuf:86)
6.
Lemah lembut dan tidak kasar
Inilah
salah satu sifat yang dicintai Allah dan disukai oleh manusia. Pada hakekatnya
setiap jiwa menyukai kelembutan. Terlebih jiwa anak yang masih polos dan lugu.
Setiap anak sangat merindukan sosok pendidik yang ramah dan lemah lembut.
Sebaliknya jiwa si anak akan takut dengan karakter pendidik yang kasar dan
kejam. Rasulullah adalah sosok pendidik yang penuh kelembutan. Sifat lemah
lembut dalam mendidik anak akan mendatangkan banyak kebaikan. Sebaliknya sikap
kasar akan membawa keburukan. Disamping itu, sikap kasar dapat meninggalkan
trauma dan memori buruk dalam jiwa dan ingatan si anak.
“Sesungguhnya
sifat lemah lembut itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya.
Dan tidaklah sifat lemah lembut itu tercabut dari sesuatu kecuali akan
menjadikannya buruk.” (HR Muslim)
Dari
‘Aisyah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam
bersabda kepadanya, “Wahai ‘Aisyah
bersikap lemahlembutlah, karena sesungguhnya Allah itu jika menghendaki
kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah menunjukkan mereka kepada sifat lemah
lembut ini.” (HR Imam Ahmad)
Sifat
lemah lembut ini akan membuat anak nyaman dan lebih mudah dalam menerima
pengajaran. Dan secara tidak langsung sifat lemah lembut ini alan mewarnai
karakter anak dan insya Allah sifat ini dengan sendirinya akan menurun
kepadanya. Dan orang yang pertama kali akan merasakan kebaikannya adalah orang
tuanya itu sendiri.
7.
Penyayang
Perasaan
sayang akan menjadi penghangat suasana dan menjadikan proses pengajaran menjadi
nyaman dan menyenangkan. Kasih sayang merupakan salah satu pondasi perkembangan
seorang anak serta merupakan pilar pertumbuhan kejiwaan dan sosialnya secara
kuat dan normal. Apabila anak kehilangan cinta kasih, ia akan tumbuh secara
menyimpang di tengah masyarakat, tidak mampu bekerjasama dengan individu-individu
di masyarakat dan membaur di tengahnya.
Anas
radhiyallahu’anhu meriwayatkan, “Seorang wanita mendatangi ‘Aisyah lalu ‘Aisyah
memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberi tiap-tiap anaknya satu butir
kurma dan menyisakan satu butir untuk dirinya. Lalu kedua anak memakan kurma
tersebut kemudian melihat kurma yang ada pada ibunya. Kemudian wanita itu
membelah dua kurma itu lalu memberi masing-masing setengah kepada dua anaknya
tersebut. Taklama kemudian Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam datang, lalu
‘Aisyah menceritakan hal itu kepada beliau. Maka Rasulullah shalallahu’alaihi
wa sallam bersabda : “Apakah kamu takjub melihatnya? Sungguh Allah telah
merahmatinya karena kasih sayangnya kepada dua anaknya” (HR. Bukhari)
8.
Lunak dan fleksibel
Lunak
dan fleksibel bukan maksudnya lemah dan tidak tegas. Namun harus difahami
secara luas dan menyeluruh. Maksudnya disini lebih mengarah pada sikap
mempermudah urusan dan tidak mempersulitnya. Seorang pendidik hendaknya memilih
kemudahan yang dibolehkan oleh syariat. Ketika dihadapkan pada dua pilihan,
maka pendidik yang bijak akan memilih yang paling ringan dan mudah selama hal
itu bukan perkara haram. Termasuk dalam hal ini sikap tidak berlebih-lebihan.
Sikap berlebih-lebihan merupakan sifat tercela dalam segala hal, demikian juga
sikap terlalu menggampangkan. Termasuk juga dalam dunia pendidikan, seorang
pendidik harus bisa bersikap seimbang, proporsional, dan pertengahan.
Abu
Mas’ud ‘Uqbah bin Umar Al Badri rhadhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya aku
biasa melambatkan hadir dalam shalat Subuh berjamaah karena si Fulan yang suka
memanjangkan shalatnya ketika mengimami kami.” Akhirnya Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah
ketika memberikan nasehat melebihi kemarahan beliau saat itu. Beliau bersabda,
“Wahai manusia sesungguhnya diantara kalian ada yang membuat orang lain lari
(meninggalkan shalat jama’ah). Maka siapa saja diantara kalian yang menjadi
imam shalat hendaklah ia meringankannya, karena diantara makmum ada orang yang
sudah tua, orang lemah, dan orang yang sedang punya keperluan.”
(Mutaffaqun’alaih)
Jika
Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam melarang sikap berlebihan seperti itu
dalam masalah pokok agama, lalu bagaimana pula dalam masalah pendidikan? Rasulullah
bersabda, “Permudahlah, jangan membuat sulit dan berikanlah berita gembira,
janganlah kalian membuat orang lain lari.” (Mutaffaqun’alaih)
9.
Tidak mudah marah
Sifat
mudah marah merupakan bagian dari sifat negatif dalam pendidikan. Jika seorang
pendidik mampu mengendalikan diri dan menahan amarahnya, maka hal itu akan
membawa keberuntungan bagi dirinya dan juga anak-anaknya. Karena sebagian besar
kemarahan itu datangnya dari syaithan. Perasaan anak sangatlah peka, mereka
dapat membedakan manakah nasehat yang didorong oleh kemarahan dan manakah
nasehat yang didorong oleh rasa kasih sayang. Dan tentu pengaruhnya bagi hati
juga akan berbeda. Dampak buruk lain dari sikap suka marah ini adalah anak akan
merasa aman ketika bersalah, menunggu orangtuanya sampai benar-benar marah. Dan
anak yang terbiasa dididik dengan kekerasan dan kemarahan akan kebal dengan
nasehat dan gamang dengan kelemahlembutan. Karena itu, ketika ada seseorang
meminta nasehat kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, beliau bersabda :
“Jangan marah!” orang itu mengulanginya beberapa kali, namun beliau tetap
mengatakan, “Jangan marah!”
Disamping
itu Nabi shalallahu’alaihi wassalam juga mengatakan bahwa keberanian (syaja’ah)
adalah kemampuan seseorang untuk menahan amarah. Diriwayatkan dari Abu Harairah
bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang pemberani bukanlah orang yang selalu
menang dalam berkelahi, akan tetapi pemberani adalah orang yang menguasai
(menahan) diri ketika marah.” (Muttafaqun’alaih)
10.
Dekat namun berwibawa
Pendidik
yang sukses adalah pendidik yang benar-benar dekat di hati anak. Anak selalu
merindukannya. Mereka merasa gembira dan bahagia bersmanya. Pendidik yang
mengasihi dan dikasihi. Anak bukan takut kepadanya, namun merasa sayang, hormat
dan segan melanggar perintah dan kata-katanya. Kita bisa melihat bahwa
rasulullah selalu dekat dan akrab dengan anak-anak. Bukan hanya terhadap
Al-Hasan dan al-Husein (cucu beliau) tetapi juga anak-anak yang lainnya. Namun
kedekatan beliau itu tidak membuat anak-anak berani berbuat semaunya, tanpa
bisa diatur. Sebaliknya, setiap nasehat dan petuah beliau menghujam begitu
dalam di hati mereka. Beliau adalah pendidik yang akrab lagi penuh wibawa.
11.
Membatasi diri dalam memberikan
nasehat
Terlalu
banyak berbicara seringkali tidak memberikan hasil yang diharapkan. Sementara
itu, membatasi diri dalam memberikan nasehat yang baik acapkali justru
memberikan hasil yang diinginkan dengan ijin Allah. Diriwayatkan dari Abi Wa’il
Syaqiq bin Salamah bahwa dia berkata: Adalah Ibnu Mas’ud memberikan pelajaran
seminggu sekali setiap hari kamis. Lalu ada seseorang yang mengusulkan, “Wahai
Abu ‘Abdirrahman (kunyah Ibnu Mas’ud)! Kami sebenarnya ingin jika engkau memberikan
pelajaran kepada kami setiap hari.” Dia menjawab, “Sesungguhnya yang
menghalangiku untuk melakukannya adalah karena aku tidak suka bila melihat
kalian bosan. Aku membatasi diri dalam memberikan petuah kepada kalian
sebagaimana Rasulullah memberikan batasan dalam memberikan nasehat kepada kami
karena khawatir bila hal itu membuat kami bosan.” (Muttafaqun’alaih)
(Oleh: Ummu Ihsan
Chairriyah & Abu Ihsan Al-Atsari “Mencetak Generasi Rabbani”, Darul Ilmi)
(Sumber: http://muslimah.or.id)
0 komentar:
Posting Komentar