Kehidupan manusia di dunia ini
tidak akan terlepas dari dua hal, yaitu nikmat dan musibah. Begitu banyaknya
nikmat yang diberikan oleh Allah, namun terkadang datang musibah yang berupa
kesusahan dan kesedihan dan kedua hal ini (nikmat dan musibah) membutuhkan
kesabaran dalam menerima dan menyikapinya. Sabar merupakah salah satu pilar
kebahagiaan bagi seseorang yang akan memberikan ketenangan dan ketentraman di
dalam jiwa manusia.
Pengertian Sabar
Syaikh Salīm ibn ‘Īd al-Hilālī dalam
kitabnya, dalam bab ‘aṣ-Ṣabru al-Jamīl’ mendefinisikan
sabar dalam tiga perkara. Pertama, sabar adalah memelihara (menetapkan) jiwa
pada ketaatan kepada Allah dan selalu menjaganya, dan memeliharanya dengan
keikhlasan serta memperbaikinya atau memperbagus dengan ilmu. Kedua, sabar
adalah menahan jiwa dari maksiat dan keteguhannya dalam menghadapi syahwat dan
perlawanannya terhadap hawa nafsu. Ketiga, sabar adalah keridhaan kepada qada’
dan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa mengeluh di dalamnya dan
keputusasaan.
Sabar dalam Ketaatan Kepada Allah
Jalan menuju Allah adalah jalan
yang penuh dengan rintangan. Sedangkan jiwa itu tidak dapat istiqamah di atas
perintah Allah dengan mudah. Maka barang siapa yang ingin menundukkan dan mengekangnya
maka di harus bersabar.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah
meliputi tiga hal, yaitu,
·
Sabar sebelum melakukan ketaatan tersebut, yaitu
dengan niat yang benar, ikhlas dan bersih dari riya’.
·
Sabar ketika menjalankan ketaatan, yaitu dengan
tidak lalai dalam melakukannya dan juga tidak bermalas-malasan.
·
Sabar setelah beramal, seseorang tersebut
hendaknya tidak menjadi ta’jub dengan dirinya dan menampakkan apa yang ia punya
dalam rangka sum’ah dan riya`. Karena hal tersebut hanya akan menghapus amalan,
pahala dan pengaruh-pengaruh yang seharusnya dia dapatkan. (Naḥwu Akhlāqi as-Salāfi : 105)
Sabar dalam ketaatan kepada Allah
diantaranya adalah sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam mengamalkan dan sabar
dalam mendakwahkannya. Tiga hal ini tercakup ke dalam firman Allah ta’ālā,
(yang artinya) : ‘Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling
menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran’ (Q.S
al-‘Asr: 1-3). Dalam surat tersebut Allah menyatakan bahwa seluruh manusia itu
berada dalam kerugian, kecuali manusia-manusia yang disifati dengan empat
sifat,
Beriman kepada perkara-perkara
yang diperintahkan oleh Allah. Keimanan ini tidak akan terwujud dengan tanpa
adanya ilmu.
Beramal shalih, mencakup seluruh
amal kebaikan, dhahir maupun batin, berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun
hak-hak seorang hamba, ataukah itu amalan wajib atau sunnah.
Saling menasehati dalam kebenaran
(iman dan amal shalih), saling menasehati dalam keimanan kepada Allah dan
beramal shalih, bersemangat kepadanya dan mencintainya.
Saling menasehati untuk menetapi
kesabaran. Bersabar dalam ketaatan kepada Allah, bersabar dalam menjauhi
maksiat kepadaNya, dan bersabar terhadapt takdir yang telah ditetapkanNya.
Dengan kedua perkara pertama
seorang hamba akan menyempurnakan dirinya, dan dengan dua perkara selanjutnya
dia akan menyempurnakan orang lain. Maka ketika empat hal ini telah sempurna
seorang hamba itu akan terselamatkan dari kerugian dan akan meraih kemenangan
yang besar (Taisīru Karīmi ar-Raḥmāni:
1102).
Sabar Menjauhi Maksiat
Dari Abu Hurairah radhiallahu
anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal
yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi
(nafsu).”
Oleh karena itu barang siapa yang
menginginkan surga, maka dia harus bersiap untuk bersabar karena surga itu
dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disenangi oleh hawa nafsu. Terkadang
seseorang itu merasa bersabar menjuhi maksiat itu lebih berat daripada bersabar
menjalankan ketaatan. Mungkin seseorang bisa bersabar melaksanakan shalat malam
semalam suntuk, namun dia tidak bisa bersabar jika diminta meninggalkan
perkara-perkara yang disenanginya yang tidak diperbolehkan oleh syari’at.
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
dalam kitab beliau yang sangat agung, menyusun bab khusus mengenai sabar
terhadap takdir, yaitu bab ‘minal īmāni billāhi aṣ-ṣabru ‘alā aqdārillāhi’ (salah
satu ciri (bagian) dari keimanan kepada Allah adalah bersabar tatkala
menghadapi takdir-takdir Allah).
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi
Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah
bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang
terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya
ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang
mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah
yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain
sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam
semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17).
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz
Alusy Syaikhhafizhahullahuta’alamengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang
sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung
(di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia
menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan.
Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah
merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan
syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam
bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau
bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk
melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar
menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh
Allahjalla wa ‘alauntuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa
melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdirNya. (artikel
muslim.or.id ‘Hakikat Sabar 1’)
Sabar adalah pedang yang tidak
akan tumpul, tunggangan yang tidak akan tergelincir dan cahaya yang tidak akan
padam. Akan tetapi sabar tidaklah semudah ketika kita mengucapkannya. Jika
tidak, Allah tidak akan memberikan pahala yang besar untuk orang-orang yang
bersabar, seperti dalam firmanNya, yang artinya “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada
Rabb-mu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Bumi
Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.” (Q.S az-Zumār:10). Allah tidak akan memberikan
kecintaan dan ma’iayyahNya (kebersamaanNya) seperti dalam firmanNya, yang
artinya “Wahai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S al-Baqarah : 153), “. . . Mereka tidak menjadi lemah karena bencana
yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah
kepada musuh. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S ali-‘Imran
:146). Allah memberikan kebersamaan yang bersifat khusus kepada orang-orang
yang bersabar, dan Allah akan menghilangkan kesusahan darinya dan akan
memudahkan setiap kebaikan bagi orang-orang yang bersabar. Akan tetapi sabar
tidak bisa kita lakukan dengan mudah, kita memerlukan pertolongan dari Allah.
Betapa perkara ini merupakan
perkara yang tidak mudah karena hidup ini pada hakikatnya adalah untuk
bersabar. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk bisa bersabar di
setiap perkara yang kita hadapi. Baik itu dalam ketaatan kita kepada Allah dan
menjauhi maksiat kepadaNya, juga dalam menetapi taqdirNya yang tidak pernah
kita dapat mengira dan menyangkanya. Allāhu a’lam.
***
(Penulis: Ummu Ahmad Rinautami Ardi Putri, Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits)
(Sumber:
www.muslimah.or.id)
0 komentar:
Posting Komentar