Judul Buku : 99 Cahaya di Langit
Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis
: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Jakarta 2011
Tebal Halaman : 412
Peresensi : Raisa
‘Amiyatul Hijriani
99 Cahaya di Langit Eropa:
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa merangkum seluruh perjalanan spiritual
Hanum Salsabiela Rais bersama sang suami Rangga Almahendra selama lebih dari
tiga tahun di Eropa. Petualangan ini telah membawa Hanum kepada titik nol yang
selama ini ia cari. Dari perjalanan ini pulalah beliau menemukan banyak hal
yang telah dilupakan generasi muslim masa kini bahwasanya peradaban Islam
pernah menerangi Bumi Eropa dengan cahayanya yang terang benderang, dimana
agama dan ilmu pengetahuan berjalan beriringan, dan dimana semua agama dapat
menjalankan ibadahnya masing-masing dengan aman serta hidup berdampingan satu
sama lain dibawah naungan kekuasaan bernama Islam.
Hanum, putri dari Bapak Amien Rais
ini, dan suaminya, Rangga, berhasil menguraikan secara detail dengan gaya
bahasa yang ringan dan mudah dimengerti cerita terselubung dibalik
peninggalan-peninggalan sejarah peradaban Islam yang terhampar luas di Eropa.
Dengan bekal pemahaman dan pengalaman yang dimiliki, mereka mampu membuka mata
para pembaca dengan fakta-fakta tersembunyi dibalik peninggalan-peninggalan
sejarah tersebut yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hanum dan Rangga mampu
mengisi relung hati para pembacanya, menyajikan kata demi kata dengan sangat
menarik, menggetarkan perasaan, dan mengalirkan ruh Islam dalam nadi, membuat
siapapun yang membaca novel ini jatuh cinta lagi terhadap Islam.
Kisah petualangan yang ditulis
berdasarkan pengalaman nyata Hanum dan Rangga ini dimulai ketika Rangga
mendapatkan beasiswa studi doktoralnya di Wina, Austria. Tidaklah mudah bagi
mereka mengenal orang-orang baru dengan budaya yang sangat jauh berbeda dari
budaya Indonesia. Berbagai polemik mereka hadapi ketika segalanya harus
dihubungkan dengan rasionalitas. Betapa sulitnya menjelaskan mengapa mereka
harus meninggalkan pekerjaannya hanya untuk beribadah lima waktu, mengapa
mereka tidak memakan babi, dan ketika keeksistensian Tuhan dipertanyakan.
Menjadi minoritas dikalangan mayoritas atheis, dimana orang tidak percaya
keberadaan Tuhan, justru lebih sulit dibandingkan dengan menjadi minoritas dari
agama yang lain.
Namun, disinilah iman mereka diuji.
Mereka tertantang untuk menjadi agen muslim yang baik dengan selalu bersabar
terhadap semua perlakuan tidak menyenangkan yang mereka dapat ketika sulitnya
melakukan ibadah, mengenakan hijab ditempat umum, membawa bekal makanan halal
ke tempat kerja, dan penghinaan terhadap simbol kekuasaan Islam pada masa
lampau yang didengar dari turis-turis lain. Seperti yang mereka yakini,
mengalah itu tidak kalah melainkan menang secara hakiki. Kekuatan iman inilah
yang mengantarkan mereka mengenal saudara-saudari muslim barunya disana dan
membawa kaki-kaki mereka melangkah menuju Bumi peradaban Islam yang tersebar di
Eropa.
Dari kelas kursus bahasa Jermannya Hanum
mengenal Fatma Pasha, seorang wanita muslim berhijab berkewarganegaraan Turki.
Fatmalah yang kemudian membawa Hanum memulai ekspedisinya di Eropa. Dimulai
dari bukit Kahlenberg, di Wina, Austria yang menjadi saksi bisu
penyerangan Islam Ottoman Turki dibawah pimpinan Kara Mustafa Pasha tiga ratus
tahun silam, Dinasti yang terkenal pernah merebut ibu kota kerajaan Romawi Byzantium
di Konstatinopel. Pasukan Turki yang saat itu sudah mengepung dan hampir
mengusai kota Wina, berhasil dipukul balik oleh pasukan gabungan Jerman dan
Polandia di bukit tersebut. Di Wien Stadt Museum atau Museum
Kota Wina, lukisan Kara Mustafa yang bagi rakyat Austria adalah seorang
pembunuh terpampang. Disanalah Hanum mengetahui bahwa Fatma merupakan keturunan
Kara Mustafa Pasha.
Ada dua hal menarik yang dapat
diambil disini. Pasukan Turki kala itu meninggalkan bukti sejarah di bukit Kahlenberg,
yaitu biji-biji kopi Turki yang kini lebih dikenal orang berasal dari Italia, Cappucino.
Dari Istana dan Museum Schoenbrunn pula, Hanum mengetahui
bahwa roti Croissant, yang sering disuguhkan oleh Maria Antoinette,
putri dari Ratu Austria, setelah menikah dengan Raja Prancis kepada para
tamunya, bukanlah berasal dari Prancis melainkan roti yang dibuat oleh
orang-orang Austria sebagai simbol untuk merayakan kekalahan Turki di Wina
karena bentuk bulan sabitnya yang melambangkan Turki tersebut.
Pemandangan ironis dapat dilihat
disekitaran Masjid Vienna Islamic Centre yang terletak persis
didepan Sungai Danube, dimana banyak sekali orang-orang berbaju
minim berjemur dibawah terik matahari kota Wina. Sungguh menarik mengetahui
fakta bahwa dibalik keironiannya justru hidayah itu turun. Banyak dari
mereka yang sering berjemur atau sekadar bersantai disekitar Sungai Danube mengucapkan
syahadatnya di masjid tersebut. Inilah bukti kekuasaan Allah SWT.
Di Prancis, Hanum dan Rangga mengenal
Marion Latimer, bule Prancis yang menjadi mualaf karena kekagumannya terhadap
Napoleon Bonaparte. Dari semua perjalanan Hanum dan Rangga, mungkin inilah yang
paling menggugah sanubari. Tokoh Marion, seorang peneliti ahli dibidang Sejarah
Studi Islam Abad Pertengahan yang juga bekerja di Arab World Institute
Paris ini mengingatkan kita pada film the Da Vinci Code.
Ia mampu menguak sejarah dengan penjelasan yang sangat logis. Seolah Hanum
‘dipaksa’ berpikir lebih jauh mengenai fakta yang ada didepannya.
Mulai dari Museum Louvre,
museum terlengkap didunia dimana terpampang lukisan karya Leonardo Da Vinci
yang terkenal, Mona Lisa. Sebuah inskripsi arab pseudo kufic kalimat
tauhid laa ilaa ha illallah menjuntai indah di hijab Bunda
Maria yang tengah menggendong bayi Yesus. Kemudian berlanjut ke Arc de
Triomphe du Carrousel dengan gerbangnya mengahadap ke Timur yang
dibangun Napoleon setelah ekspedisinya ke Mesir serta bangunan-bangunan lain
yang sengaja dibuat membentuk garis imajiner lurus Axe Historique atau Voie
Triomphale yang berarti ‘Jalan Kemenangan’ yang jika
ditelusuri mengarah ke kiblat di Mekkah. Ya, Mekkah, Jalan Kemenangan.
Mungkin banyak orang akan mengatakan
fakta-fakta tersebut terlalu memaksakan. Tapi, kalaupun bukan kalimat laa
ilaa ha illallah yang terukir di hijab Bunda Maria dan Napoleon tidak
pernah memeluk islam, satu fakta tak terbantahkan yaitu peradaban islam pernah
menancapkan pengaruhnya di benua Eropa. Dan satu hal pula yang tidak bisa
dipungkiri oleh sejarah bahwa Jendral Jacques Francois Menou, tangan kanan
Napoleon yang menemaninya dalam ekspedisi ke Mesir tersebut telah mengikrarkan
dua kalimat syahadat.
Hanum dan Rangga banyak mengisahkan
berdirinya masjid-masjid dan gereja-gereja besar di Eropa. Seperti Le
Grande Mosque de Paris atau Masjid Besar Paris yang menggambarkan
fungsi masjid bukan sekadar untuk beribadah, tapi juga berdiskusi,
bersilaturahmi, berdagang, dan kegiatan lainnya karena Islam tidak mengenal
benturan sains dan agama sebagaimana Eropa pada masa kegelapan. Masjid ini
dibangun untuk mengenang gugurnya tentara muslim pada PD I dan pernah
menyelamatkan ratusan Yahudi dari kejaran Nazi.
Gereja Notre Dame memiliki
tiga pintu masuk yang berbentuk kubah lengkung ogive atau
kurva lancip, terinspirasi oleh gerbang masjid seperti Masjidil Haram yang
jumlahnya selalu ganjil. Ada juga gereja St.Charles yang
bergaya baroque, memiliki atap berbentuk kubah raksasa seperti
kubah masjid. The Mosque Cathedral atau Mezquita di
Cordoba, Spanyol, merupakan masjid yang berubah menjadi gereja. Terdapat
sisa-sisa ukiran ayat-ayat Al-Quran yang sudah dihancurkan dan bahkan mihrabnya
pun dibatasi jeruji besi.
Cordoba yang saat itu dikenal sebagai the
City of Lights, kota pertama di Eropa yang dibangun oleh imperium Islam
terkenal bukan karena hebat dibidang ilmu pengetahuannya saja, tapi juga
keharmonisan perbedaan pemeluk agama Islam, Kristen, dan Yahudi dibawah Islam.
Disana pulalah lahir para tokoh filsuf dunia seperti Maimonides, Averroes atau
Ibnu Rushd, Ibnu Sina yang lebih dikenal dengan nama Avicenna, juga Al Farabi,
dan masih banyak nama lainnya. Kejayaan Islam di Spanyol saat itu berakhir di
Granada. Alhambra-lah yang menjadi benteng terakhir pertahanan umat
Islam. Ratu Isabella dan Ferdinand kala itu berhasil mengambil alih Granada dan
membabtis semua warga Islam dan Yahudi, memaksa menggantung babi didepan rumah
dan memakannya sebagai bukti kesetiaan.
Di Istanbul, atau Islambol, atau New
Rome, atau Constatinopel hati Hanum bergejolak ketika melihat empat buah
medalion raksasa bertuliskan Allah dan Muhammad mengapit gambar Bunda Maria
memangku Yesus di Hagia Sophia, gereja Kristen Orthodok yang
kemudian diubah menjadi masjid, dan pada masa Mustafa Kemal Ataturk diubah
menjadi museum. Berbeda dengan Mezquita, lukisan Yesus dan Bunda
Maria di Hagia Sophia saat diubah menjadi masjid dibiarkan
saja dan hanya ditutupi kain. Ada juga Blue Mosque, Topkapi Palace, dan
Jembatan Bosporus yang semakin menambah keindahan Istanbul.
Pengalaman menyenangkan saat membaca novel ini adalah ketika membayangkan
melewati jembatan tersebut. Sungai dibawahnya yang mengalir dari selat Bosporus,
membelah Asia dan Eropa.
Perjalanan ini berakhir di Mekkah. Membawa
Hanum kepada titik nol yang selama ini ia cari, perjalanan untuk kembali kepada
Tuhan. Sayangnya, bagian dimana Hanum, sang penulis mendapatkan hidayah-Nya
untuk mengenakan hijab terlewatkan oleh novel ini. Rasanya akan lebih lengkap
jika bagian itu disertakan sehingga Insya Allah dapat menjadi
hidayah bagi para pembacanya juga.
Banyak pelajaran yang bisa diambil
dari novel ini. Nuansa yang dibawa oleh penulis banyak mengangkat kebesaran
Islam namun tetap dengan melihat realita dari kacamata masa kini. Betapa
canggihnya muslim kala itu mampu menyebarkan pengaruhnya melalui kata-kata
mutiara dalam Arab Kufic yang disukai para Raja. Inilah
gambaran Islam yang sesungguhnya. Bukan dengan jalan yang salah, bukan melalui
teori belaka, tapi melalui praktik langsung. Islam yang damai.
Isu terbesar yang diangkat oleh novel ini
adalah kejayaan Islam. Islam pernah menjadi bagian penting bagi sendi-sendi
kehidupan di tanah Eropa. Dan sejarah akan tetap menjadi fakta. Sejarah juga
bukan melulu soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, siapa yang menyakiti
dan siapa yang tersakiti. Tapi pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya agar
kelak kita manusia tidak jatuh kedalam kesakitan sejarah yang sama.
Novel ini memberikan pesan kepada kita para muslimin bahwa
untuk menghapus kebencian antar manusia, antar agama, adalah dengan menjadi
agen muslim yang baik, yang bangga menjadi seorang muslim dengan mengetahui
sejarahnya. Seperti yang dikatakan oleh Fatma dan ditulis oleh Hanum dan Rangga
dalam novel ini, kita harus bangga terlahir sebagai muslim karena memahami,
meresapi, mengenal, menyentuh, merasakan, dan mencintai Islam bukan karena
paksaan orang lain. Perbedaan terjadi bukan karena Tuhan tidak bisa menjadikan
kita sama, tapi Tuhan Maha Tahu jika kita semua sama maka tidak ada lagi keindahan
hidup bagi manusia.
Novel ini
dilengkapi dengan desain peta setiap Negara yang dikunjungi dan foto-foto
menarik yang mendukung isi cerita serta jejak kronologis sejarah peradaban
Islam di Eropa dari abad ke abad. Sangat sayang jika terlewatkan oleh Anda