Penulis:
Prof. Arysio Santos
Terbit : Desember 2009
Penerbit: Ufuk Press
SBN: 978-602-82xxx
Ukuran: 15 x 23
Halaman: 684
Berat Buku: 900 gram
Terbit : Desember 2009
Penerbit: Ufuk Press
SBN: 978-602-82xxx
Ukuran: 15 x 23
Halaman: 684
Berat Buku: 900 gram
CERITA mengenai keberadaan Benua Atlantis hingga kini
terus menjadi misteri sejak dideskripsikan filsuf Yunani, Plato, pada ribuan
tahun lalu dalam dua dialognya, “Timaeus” dan “Critias”. Tak hanya Plato,
penulis kuno klasik lainnya seperti Homer, Hesiod, Pindar, Orpheus, Appolonius,
Theopompos, Ovid, Pliny si tua, Diodorus Siculus, Strabo, dan Aelian juga ikut
meramaikan soal keberadaan Atlantis.
Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan perdebatan tak
kunjung usai di kalangan saintis klasik dan modern. Bahkan, masing-masing
meletakkan Atlantis di tempat yang mereka yakini sesuai dengan hasil temuannya
seperti Al-Andalus, Kreta, Santorini, Siprus, Timur Tengah, Malta, Sardinia,
Troya, Antartika, Australia, Kepulauan Azores, Tepi Karibia, Bolivia, Laut
Hitam, Inggris, Irlandia, Kepulauan Canary, Tanjung Verde, Isla de la Juventud
dekat Kuba, dan Meksiko.
Pandangan yang paling mutakhir mengenai Atlantis -dan
sangat mengejutkan kita- datang dari seorang geolog dan fisikawan nuklir asal
Brazil Prof Arysio Santos. Dia membantah tesis di atas dan meyakini bahwa
Atlantis yang pernah digambarkan Plato sebagai sebuah negara makmur dengan
kekayaan emas, batuan mulia, dan mother of all civilization dengan kerajaan
berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi,
memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik,
dan olahraga itu adalah Indonesia.
Kesimpulan Santos yang merujuk pada pandangan Plato bukan
tanpa pertimbangan kuat. Selama 30 tahun ia melakukan studi dan penelitian. Selama
itu pula hidupnya dipergunakan untuk mengungkap letak Atlantis yang sebenarnya.
Hasil penelitiannya itu kemudian ia tulis dalam buku Atlantis, The Lost
Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost
Civilization. Untuk memperkuat argumentasinya, Santos juga merujuk pada
tradisi-tradisi suci tentang mitos banjir besar yang melanda seluruh dunia.
Dalam buku ini, secara tegas Santos menyatakan bahwa
lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah
di Indonesia. Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu
itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis. Mereka memiliki peradaban
yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang
tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi. Itu terjadi sebagai
hukuman dari Tuhan atas keserakahan dan keangkuhannya.
Dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan mutakhir
seperti geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan
comparative mythology, Santos juga mengungkap sebab-sebab hilangnya Atlantis
dari muka bumi. Dia pun membantah hipotesis yang menyatakan bahwa musnahnya
Atlantis disebabkan tabrakan meteor raksasa yang disebabkan oleh komet dan
asteroid. Menurut Santos, tabrakan di luar angkasa itu adalah order of
magnitude yang lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan letusan gunung
berapi.
Hipotesis lain yang dibantah Santos adalah tesis yang
mengatakan Atlantis musnah disebabkan pergeseran kutub dan memanasnya Antartika
pada zaman es. Menurut Santos, fenomena seperti itu mustahil terjadi pada masa
lalu jika dilihat dari sisi fisik dan geologisnya.
Musnahnya Atlantis, menurut Santos, lebih disebabkan
banjir mahadahsyat yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan dunia, yang
membinasakan 70 persen penduduk dunia -termasuk di dalamnya binatang. Yang
memegang peran penting dalam bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau
dan Gunung Toba, selain puluhan gunung berapi lainnya yang terjadi hampir dalam
waktu yang bersamaan.
Bencana alam beruntun itu, kata Santos, dimulai dengan
ledakan dahsyat Gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri,
dan membentuk sebuah kaldera besar, yaitu Selat Sunda, hingga memisahkan Pulau
Sumatera dan Jawa. Letusan tersebut menimbulkan tsunami dengan gelombang laut
yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran rendah antara Sumatera
dengan Semenanjung Malaysia, antara Jawa dan Kalimantan, serta antara Sumatera
dan Kalimantan. Bencana besar itu disebut Santos sebagai “Heinrich Events”.
Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa fly-ash naik
tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu
sebagian besar masih ditutup es (zaman es pleistosen). Abu itu kemudian turun
dan menutupi lapisan es. Karena adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai
akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di Kutub
Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang
rendah, termasuk Indonesia.
Banjir akibat tsunami dan lelehan es itulah yang
mengakibatkan air laut naik sekitar 130 hingga 150 meter di atas dataran rendah
Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan
yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi. Tekanan air
yang besar itu menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng
benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi dan gempa
bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya zaman es pleistosen secara
dramatis.
Terlepas dari benar atau tidaknya teori tersebut, atau
dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di
Indonesia, teori Santos sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang
luar ke Indonesia. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang
sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari
bangsa-bangsa maju yang diturunkannya, ini adalah suatu proses dari hukum alam
tentang masa keemasan dan kemunduran suatu bangsa.
(Sumber : http://arifust.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar